Gampong Kayee Jatoe yang sekarang ini adalah nama lain dari Cubo Baroh tempo dulu, yang merupakan salah satu gampong dalam Mukim Cubo yang di kelilingi oleh pengunungan dan dibelah oleh Krueng Cubo, asal mulanya diberi nama Gampong Kayee Jatoe tidak terlepas dari sejarah dan peradaban manusia. Hal ini terbukti dimana kejayaan kerajaan aceh segala sesuatu dikuasai oleh raja dan keturunannya. Pada tahun 1915 kedatangan seorang Raja Umar Lueng Putu merencanakan pengembangan dan penanaman Kayee Jatoe (Kayu Jati) diseluruh kawasan yang ada di Cubo dan termasuk lahan masyarakat biasa. Tidak serta merta masyarakat menerima rencana tersebut dan untuk menolaknya sangat sulit karena perintah raja (ulee balang), karna adanya kekhawatiran masyarakat bahwa bila masyarakat menanam pohon Jati sebagai yang di anjurkan oleh Raja Umar Lueng Putu, maka suatu hari nanti tanah yang telah ditanami pohon jati menjadi hak milik raja umar. Untuk menghilangkan kekhawatiran tersebut timbul inisiatif dari Geuchik Yacob, bilamana dibagikan biji kayu jati, maka Geuchik Yacob menyarankan kepada masyarakat untuk merebus biji jati tersebut agar tidak banyak yang tumbuh sehingga lahan masyarakat tidak menjadi milik raja umar. Dalam rentang waktu 25 tahun kemudian, pohon jati tersebur tumbuh dengan subur dan lebat dan kekhawatiran masyarakat pada masa itu tidak tebukti dan tanah yang sudah tumbuh kayu jati tersebut tetap milik masyarakat. Singkat cerita masyarakat merencanakan pembangunan meunasah sebagai tempat beribadah dan bermufakat untuk kepentingan bersama, namun nama gampong saat itu masih bernama Cubo Baroh. Berdasarkan hasil mufakat masyarakat Cubo Baroh untuk melaksanakan dan mewujubkan rencana pembangunan Meunasah Cubo Baroh memutuskan semua bahan untuk pembangunan meunasah dan cukup banyak tersedia bahannya adalah Kayu Jati. Bersamaan berdirinya meunasah sekaligus nama Gampong Cubo Baroh dirobah menjadi Gampong Kayee Jatoe dengan alasan yang sangat mendasar bahwa bahan pembangunan meunasah tersebut berbahan baku kayu jati (kayee jatoe). Perubahan nama gampong tersebut terjadi sekitar tahun 1935.
Sistem pemerintah gampong kayee jatoe berazas pada pola adat/kebudayaan dan peraturan formal yang sudah bersifat umum sejak zaman dulu, pemrintahan gampong dipimpin oleh seorang geuchik dan dibantu oleh sekretaris gampong dan tuha peut/ tuha lapan serta kepala dusun. Dalam tatanan gampong juga ada imum mukim yang membawahi enam gampong memiliki peran penting dalam kehidupan bermasyarakat antar gampong dan menjadi panutan dalam segala aktifitas dan kebijakan dan hukum adat gampong. Tuha peut menjadi mmenjadi bagian lembaga penasehat gampong yang berperan dan berwenang memberikan pertimbangan terhadap pengambilan keputusan gampong dan memantau kinerja dan kebijakan Geuchik gampong. Imum meunasah berperan dalam menggorganisasikan kegiatan-kegiatan keagamaan dan sosial.